Di akhir era 90-an, telepon seluler atau ponsel mulai menjamur di Tanah Air. Namun, harganya masih membubung tinggi. Begitu juga kartu perdana SIM yang dijual, masih berkisar Rp100-200 ribu, bahkan sampai Rp500 ribu.
Ponsel pun dianggap barang mewah. Sejak saat itu, pemerintah bercita-cita agar layanan telekomunikasi seluler juga bisa dinikmati masyarakat menengah bawah. Penetrasi seluler ditingkatkan. Dimulai dari membangun menara-menara BTS pemancar sinyal di pelosok-pelosok.
Lalu tarif pulsa untuk telepon dan SMS berangsur murah. Disusul pilihan perangkat ponsel yang semakin variatif dan terjangkau. Dari satu kartu, sampai satu ponsel menampung dua-tiga kartu.
Hari ini, nyaris semua orang memegang ponsel. Bahkan, satu pelanggan memegang dua-tiga nomor sudah lumrah. Tak heran kalau kartu perdana yang beredar di Indonesia tembus 270 juta nomor, menurut catatan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia).
Sayangnya, situasi ini kembali dibuat sulit oleh mereka yang usil. Yaitu mereka yang sering mengirimkan pesan SMS spam alias SMS iklan ke layar ponsel Anda.
Tentu Anda pernah menemuinya. Atau mungkin pernah berang karena tidak henti-hentinya dikirimi SMS sampah. Mulai dari tawaran kartu kredit, pinjaman tanpa agunan, jual pulsa, pengumuman pemenang kuis, dan semacamnya. Keluh kesah pelanggan mulai membanjiri outlet-outlet customer service di berbagai operator seluler.
Isu inilah yang melatarbelakangi usul BRTI agar harga kartu SIM perdana (SIM card) dinaikkan menjadi minimal Rp100 ribu per kartu, dari yang biasanya Rp2.000-5.000 per kartu.
Ponsel pun dianggap barang mewah. Sejak saat itu, pemerintah bercita-cita agar layanan telekomunikasi seluler juga bisa dinikmati masyarakat menengah bawah. Penetrasi seluler ditingkatkan. Dimulai dari membangun menara-menara BTS pemancar sinyal di pelosok-pelosok.
Lalu tarif pulsa untuk telepon dan SMS berangsur murah. Disusul pilihan perangkat ponsel yang semakin variatif dan terjangkau. Dari satu kartu, sampai satu ponsel menampung dua-tiga kartu.
Hari ini, nyaris semua orang memegang ponsel. Bahkan, satu pelanggan memegang dua-tiga nomor sudah lumrah. Tak heran kalau kartu perdana yang beredar di Indonesia tembus 270 juta nomor, menurut catatan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia).
Sayangnya, situasi ini kembali dibuat sulit oleh mereka yang usil. Yaitu mereka yang sering mengirimkan pesan SMS spam alias SMS iklan ke layar ponsel Anda.
Tentu Anda pernah menemuinya. Atau mungkin pernah berang karena tidak henti-hentinya dikirimi SMS sampah. Mulai dari tawaran kartu kredit, pinjaman tanpa agunan, jual pulsa, pengumuman pemenang kuis, dan semacamnya. Keluh kesah pelanggan mulai membanjiri outlet-outlet customer service di berbagai operator seluler.
Isu inilah yang melatarbelakangi usul BRTI agar harga kartu SIM perdana (SIM card) dinaikkan menjadi minimal Rp100 ribu per kartu, dari yang biasanya Rp2.000-5.000 per kartu.
Menurut Nonot Harsono, Komisioner BRTI, dengan harga yang relatif mahal, penyebaran kartu SIM bisa ditekan dan membuat jumlah pelanggan terlihat lebih faktual.
"Jadi, orang nanti akan semakin sayang dengan nomor yang dimiliki. Tujuannya, membuat satu orang mempunyai satu nomor saja," kata Nonot, saat ditemui di Jakarta, 9 Juli 2013.
Soal hitungan harga tersebut, menurut Nonot sudah dipertimbangkan secara matang, yaitu daya beli masyarakat. Ia mengatakan, harga itu juga mempertimbangkan proporsi harga ponsel terjangkau yang beredar di pasaran.
"Ponsel low-end saja Rp300 ribuan. Kalau harga kartu perdananya sepertiga harga ponsel, masih masuk akal," imbuhnya.
Segera diuji publik
Saat ini, usulan harga kartu SIM dinaikkan menjadi minimal Rp100 ribu per kartu akan segera dirapatkan oleh jajaran eselon 1 Kementerian Komunikasi dan Informatika. Nonot mengatakan proses perumusan usulan di BRTI sudah selesai. "Tinggal penetapannya oleh Menteri, dengan meminta pertimbangan dari stafnya setelah dirapatkan," ujarnya kepada VIVAnews, hari ini, Rabu 10 Juli 2013.
Usulan BRTI itu termuat pada draft revisi Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi No. 23 tahun 2005, yang segera diuji publik.
Keputusan Menteri dijadwalkan akan keluar Selasa mendatang, 16 Juli 2013. Jika tepat waktu, RPM itu bisa langsung diuji publik.
Bagaimana prosesnya?
Ketika uji publik, masyarakat dipersilakan memberi masukan atau usulan tentang patokan harga kartu perdana yang baru.
Sejauh ini, pada beberapa kali siaran on air di radio, Nonot mengatakan mayoritas masyarakat sangat mendukung usulan lembaganya. Bahkan, banyak yang menginginkan agar harganya dipatok benar-benar mahal.
"Rata-rata malah minta jadi Rp500 ribu, seperti jaman dulu. Ada juga yang mengaku dulu pernah beli kartu SIM Rp900 ribu, dan merasa puas. Katanya lebih tertib, tidak ada yang ngawur pemakaiannya," Nonot menjelaskan.
Menurutnya, masyarakat sangat mendukung lantaran gemas dengan pesan-pesan spam yang meneror mereka sehari-hari.
"Simpel saja. Usulan ini untuk memberi dampak psikologis. Supaya orang tidak sembarangan membeli dan membuang nomor," kata Nonot.
viva.co.id
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Post a Comment
jangan lupa buat ninggalin komen yaa....
boleh kopas kok.. tapi kasih link ke http://gilapc.com/ yaa...
terima kasih kunjungannya... :)