Seminar animasi tentang “tantangan dan peluang animasi” tanggal 10 Maret 2011 di Warung Tresni Denpasar dari Dapur Olah Kreatif Denpasar (DOK) dengan pembiacara dari Timeline Studio Bali. Pak Agung Sanjaya adalah pembicaranya dari timeline studio. Dalam seminar ini beliau membukakan Ekonomi kreatif kita dengan negara-negara di luar sana, tidak perlu jauh-jauh ambil saja contoh negera tetangga kita yaitu Malaysia.
Dari data yang kita liat dalam pemaparan pak Agung pada slide persentasinya, sungguh jauh berbeda. Mereka benar-benar mengutamakan ekonomi kreatif selain itu mereka juga memfokuskan pada suatu industri kreatif. Selain itu mereka di bandingkan negara kita sudah memfokuskan dengan membuat sebuah wadah pendidikan collage atau university.
Kenapa kita kalah dengan negara-negara diluar, mungkin itu kembali pada diri kita sendiri untuk kreatifitas kita sendiri. Ada peserta seminar bertanya kenapa negara kita kalah dengan negara Jepang dalam film animasi? jika 1 orang Indonesia melawan 1 orang Jepang, maka 1 orang Jepang akan kalah, tapi jika 3 orang Indonesia melawan 3 orang Jepang dalam industri kreatif, maka 3 orang Indonesia akan kalah, jawab pak Agung. Pak Agung menambahkan, team work orang Jepang lebih solid di bandingkan kita, karena SDM kita lebih menonjol dalam hal individu bukan team.
Dari data yang kita liat dalam pemaparan pak Agung pada slide persentasinya, sungguh jauh berbeda. Mereka benar-benar mengutamakan ekonomi kreatif selain itu mereka juga memfokuskan pada suatu industri kreatif. Selain itu mereka di bandingkan negara kita sudah memfokuskan dengan membuat sebuah wadah pendidikan collage atau university.
Kenapa kita kalah dengan negara-negara diluar, mungkin itu kembali pada diri kita sendiri untuk kreatifitas kita sendiri. Ada peserta seminar bertanya kenapa negara kita kalah dengan negara Jepang dalam film animasi? jika 1 orang Indonesia melawan 1 orang Jepang, maka 1 orang Jepang akan kalah, tapi jika 3 orang Indonesia melawan 3 orang Jepang dalam industri kreatif, maka 3 orang Indonesia akan kalah, jawab pak Agung. Pak Agung menambahkan, team work orang Jepang lebih solid di bandingkan kita, karena SDM kita lebih menonjol dalam hal individu bukan team.
Kembali lagi dengan Perbedaan negara kita dengan Malaysia. Malaysia mereka mempunyai sebuah wadah khusus menampung perkembangan ekonomi kreatif, tapi sayangnya mereka tidak mempunyai konten sehingga mereka mengklaim milik kita. Sedangkan orang Indonesia begitu banyak mempunyai konten lokal, tapi belum ada wadah yang pas untuk menampung kreatifitas-kreatifitas para sumbernya, selain itu kita hanya sibuk membicarakan mereka (Malaysia) sebagi negara maling asian.
Pada dunia perfilman ambil saja contoh film “Hikayat Merong Mahawangsa” dengan dana sebesar 8juta ringgit Malaysia setelah beberapa bulan sudah bisa menghasilkan 12juta ringgit Malaysia, dan film ini sudah tayang di 70 negara di dunia, sedangkan negara kita hanya bisa membuat film berkaitan dengan hantu-hantu diindonesia. Terkadang film ini berisikan sedikit konten pornografi. Apa maksud dari sebuah film seperti ini? Mendidikkah? Dan apa gunanya ada undang-undang anti pornografi? Sekarang ini kembali kepada diri kita sendiri untuk bangsa kita ini.
“Orang kreatif tidak akan pernah melakukan yang menurutnya tidak berguna dan orang kreatif selalu bisa berpikir kritsi demi tercapainya ide dan tujuannya”.
Namun, Agung Sanjaya salah satu pengagas berdirinya Timeline, masih pesimis dengan perkembangan industri animasi dalam negeri. Ini lantaran kurangnya sumber daya manusia yang bisa siap pakai untuk diterjunkan langsung ke industri animasi. Padahal, menurutnya, secara umum, industri animasi itu ada di Indonesia. “Sayangnya belum banyak generasi muda yang benar-benar berani dan serius terjun ke dunia industri,” kata Oka.
Serupa dengan Oka, W. Joniartha Siada animator sekaligus pengajar di New Media mengatakan masih sedikit animator Bali yang fokus menggarap film-film animasi sebagai peluang usaha. “Mereka lebih suka memproduksi animasi dalam bentuk visualisasi untuk kebutuhan sektor industrial. Misalkan visualisasi untuk keperluan properti, tutorial, hingga iklan,” jelas pria yang memiliki usaha animasi Digital Studio.
Pada dunia perfilman ambil saja contoh film “Hikayat Merong Mahawangsa” dengan dana sebesar 8juta ringgit Malaysia setelah beberapa bulan sudah bisa menghasilkan 12juta ringgit Malaysia, dan film ini sudah tayang di 70 negara di dunia, sedangkan negara kita hanya bisa membuat film berkaitan dengan hantu-hantu diindonesia. Terkadang film ini berisikan sedikit konten pornografi. Apa maksud dari sebuah film seperti ini? Mendidikkah? Dan apa gunanya ada undang-undang anti pornografi? Sekarang ini kembali kepada diri kita sendiri untuk bangsa kita ini.
“Orang kreatif tidak akan pernah melakukan yang menurutnya tidak berguna dan orang kreatif selalu bisa berpikir kritsi demi tercapainya ide dan tujuannya”.
Namun, Agung Sanjaya salah satu pengagas berdirinya Timeline, masih pesimis dengan perkembangan industri animasi dalam negeri. Ini lantaran kurangnya sumber daya manusia yang bisa siap pakai untuk diterjunkan langsung ke industri animasi. Padahal, menurutnya, secara umum, industri animasi itu ada di Indonesia. “Sayangnya belum banyak generasi muda yang benar-benar berani dan serius terjun ke dunia industri,” kata Oka.
Serupa dengan Oka, W. Joniartha Siada animator sekaligus pengajar di New Media mengatakan masih sedikit animator Bali yang fokus menggarap film-film animasi sebagai peluang usaha. “Mereka lebih suka memproduksi animasi dalam bentuk visualisasi untuk kebutuhan sektor industrial. Misalkan visualisasi untuk keperluan properti, tutorial, hingga iklan,” jelas pria yang memiliki usaha animasi Digital Studio.
Agung Sanjaya mengungkapkan keprihatinannya terhadap pendidikan animasi yang diberikan di SMK maupun lembaga edukasi multimedia di Bali. Pria yang kini tengah merintis sebuah sekolah animasi ini menilai banyak lulusan tersebut belum memiliki kemampuan yang diharapkan industri animasi sesungguhnya. Kemampuan dalam pengaplikasian sebuah ide, teknik pergerakan animasi, editing, hingga teknik drawing pun ditengarai masih lemah. Banyak lulusan tersebut juga belum memikirkan animasi sebagai industri. Mereka hanya menganggap animasi hanya sebatas hobi yang masih dilapisi aneka idealisme.
“Banyak yang saya lihat belum punya etos kerja, tak bisa kerja tim, lemah dalam mempertahankan kualitas dan tak tepat deadline,” ucap pria asal Negara, Jembrana ini.
Maka, Timeline pun hingga saat ini belum berani menambah personil timnya lantaran belum mendapatkan animator yang cocok untuk bekerja secara industri kreatif. Dari awal pendirian hingga sesibuk sekarang, mereka masih tetap bertujuh. “Makanya kami masih keteteran kalau menerima banyak proyek animasi lantaran kekurangan tenaga,” tutup Oka
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Post a Comment
jangan lupa buat ninggalin komen yaa....
boleh kopas kok.. tapi kasih link ke http://gilapc.com/ yaa...
terima kasih kunjungannya... :)