Letusan Gunung Toba pada 74.000 tahun lalu menjadi
letusan di muka Bumi dalam kurun waktu dua juta tahun. Saat meletus, Gunung
Toba ini tergolong Supervolcano. Hal ini dikarenakan Gunung Toba memiliki
kantong magma yang besar yang jika meletus kalderanya besar sekali. Volcano
kalderanya ratusan meter, sedangkan Supervolacano itu puluhan kilometer.
Gunung Toba memuntahkan 2.500 kilometer kubik lava.
Setara dua kali volume Gunung Everest. Erupsinya 5.000 kali lebih mengerikan
dari letusan Gunung St. Helens pada 1980 di Amerika Serikat. Amuk Toba itu
menyisakan kawah seluas 50 kilometer, yang kini menjadi Danau Toba. Temuan baru tentang erupsi kolosal tersebut didapat
para peneliti dari Niels Bohr Institute.
Peneliti mengaitkan letusan dahsyat itu dengan iklim global dan efeknya pada
manusia purba. Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal sains, Climate of the Past.
Para ahli menduga, letusan Gunung Toba mengakibatkan
awan abu vulkanik dan asam sulfat menyembur ke atmosfer, dan terjebak di
lapisan stratosfer bumi. Dari sana ia menyebar ke seluruh dunia, di belahan
bumi utara dan selatan. Lalu turun ke bumi dalam bentuk hujan asam. "Kami
sekarang telah melacak jejak hujan asam dalam lapisan es di Greenland dan
Antartika," kata ilmuwan Anders Svensson dari Centre for Ice and Climate,
Niels Bohr Institute, University of Copenhagen.
Seperti dikutip LiveScience, ada cukup bukti dalam
inti es tentang bagaimana iklim bumi berubah secara drastis selama bertahun-tahun
pasca erupsi. Sebelumnya, ada banyak spekulasi bagaimana letusan besar gunung
berapi bisa mempengaruhi iklim. Salah satunya, awan raksasa berisi partikel
belerang yang terlempar ke stratosfer akan manjadi seperti selimut, yang
melindungi bumi dari radiasi matahari. Sehingga, planet manusia ini bisa
menjadi lebih dingin.
Pertanyaannya, seberapa banyak dan berapa lama hal
ini terjadi? Modelling yang dilakukan
para ahli menemukan bahwa letusan dahsyat gunung berapi bisa menurunkan suhu
global hingga 10 derajat selama beberapa dekade. Namun, inti es yang ditemukan ahli baru-baru ini
menunjukkan penurunan suhu global hanya terjadi dalam waktu yang singkat dan tidak
konsisten di seluruh dunia.
"Dalam kurva temperatur dari inti es, kami
bisa mengetahui tidak ada pendinginan
global yang diakibatkan letusan Toba. Ada fluktuasi pendinginan dan besaran
suhu global di belahan bumi utara. Namun, di belahan bumi selatan justru lebih
hangat. Jadi, pendinginan global hanya terjadi dalam waktu singkat," kata
Anders Svensson.
Konsekuensi Bagi Manusia
Meski demikian, erupsi Toba punya konsekuensi besar
bagi alam, lingkungan, dan manusia yang tinggal di Asia kala itu, di mana
lapisan abu dari erupsi ditemukan. Letusan Toba terjadi di saat yang menentukan dalam
sejarah manusia, sekitar masa ketika nenek moyang kita, Homo sapiens melakukan
eksodus massal, dari Afrika ke Asia. Para peneliti yakin, orang yang kala itu
tinggal sejauh 2.000 kilometer di timur India dipengaruhi letusan tersebut,
yang berkecamuk selama berminggu-minggu.
Namun, sejumlah arkeolog menentang ide konsekuensi
fatal erupsi Toba pada penduduk yang tinggal di Asia yang terkena dampak
letusan. Spekulasi berkisar dari tidak ada efek sama sekali pada kehidupan
manusia kala itu hingga dugaan pemusnahan total populasi dalam wilayah yang
luas. Tak ada cara untuk memastikannya, sebab, material dari periode itu
terlalu tua untuk diketahui usianya menggunakan metode carbon-14. Oleh karena
itu, lapisan abu Toba menjadi referensi penting.
vivanews.com
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
Post a Comment
jangan lupa buat ninggalin komen yaa....
boleh kopas kok.. tapi kasih link ke http://gilapc.com/ yaa...
terima kasih kunjungannya... :)